Powered By Blogger

Senin, 04 Mei 2015

Jalan cerita film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku

Hampir setiap hari, kala tiang listrik dipukul dan mengeluarkan suara, pertanda marabahaya. Konflik agama di Maluku, konflik perang antar kampung, kerusuhan dimana-mana. Orang dewasa berjaga-jaga, membawa alat dan juga senjata. Anak-anak serta merta terbawa, saat mendengar suara dari tiang listrik, serta-merta ikut berlari menonton kerusuhan. Kekisruhan ini yang mengawali sebuah niat baik Sani, dia tidak ingin anak-anak terbawa dengan memori kelam hingga masa depan hanya penuh dendam kebencian, Sani mengajak anak-anak berlatih sepakbola setiap sore. Sani menafkahkan dirinya untuk anak-anak ini. Awalnya berat, karena tiap mendengar tiang listrik yang dipukul, anak-anak tetap berlari, lama kelamaan mereka berdisiplin untuk terus latihan.

Muncul satu konflik awal yang pelik namun menyentuh. Satu sisi Sani berjalan dalam dunianya yaitu sepakbola, disisi yang lain ada realitas keluarga yang butuh makan. Diluar menjadi pelatih sepakbola anak-anak, Sani hanya seorang tukang ojek. Sejak melatih anak-anak, setoran untuk anak istri dirumah semakin kurang. Ada kalanya dia harus memilih antara mencari uang atau melatih, Sani berada dalam dua hal yang pelik. Beberapa kali Sani mangkir melatih karna desakan ekonomi, membuatnya bersitengang dengan Raffi, rekan setimnya semasa kecil yang membantunya melatih anak-anak.

Ada yang menarik dengan nama anak-anak yang dilatih Sani. Ada nama Alvin Tuasalamoni, Rizky Pellu, Hendra Adi Bayao, nama-nama yang tidak asing bagi penggemar sepakbola nasional. Awalnya saya pikir, nama-nama ini sengaja dibuat sama agar mendekati realita talenta nasional dari Maluku. Ternyata film ini An True Story alias kenyatan.

Tahun berganti tahun akhirnya konflik mulai surut, anak-anak pun tumbuh menjadi pemuda tangguh. Raffi mengusulkan agar segera dijadikan SSB (Sekolah Sepak Bola), tapi Sani tau diri, untuk memberi makan anak istri juga pas-pasan. Gerbang itu semakin terbuka saat akan dilaksanakan John Maeloa Cup, turnamen sepakbola di Maluku dan Tulehu menjadi tuan rumahnya. Raffi mendeklarasikan SSB Tulehu Putra, yang awalnya disetujui oleh Sani. Ternyata Raffi menggunakan ini sebagai alat politiknya yang akan maju sebagai caleg, SSB Tulehu Putra diklaim merupakan miliknya dan hasil inisiasinya. Raffi menggunakannya sebagai pencitraan di media cetak lokal. Hal ini tercium Sani, yang mengakibatkan dua sahabat ini pecah kongsi. Sani marah tapi tak berdaya, dia kalah dengan sahabatnya yang punya uang dan siap membiayai keperluan Tulehu Putra.

Anak-anak akhirnya tau, dan ini sontak menjadi dilema tersendiri. Anak-anak sudah jatuh hati, mereka merasa Sani adalah sosok terbaik bagi mereka. Sani menutupi masalahnya dengan Raffi, dia menjelaskan dia keluar dari Tulehu Putra karna ingin fokus mencari nafkah. Diluar itu, Sani sebenarnya sangat hancur. Perasaan dikhianati sahabat sekaligus harus kembali menjauh dari dunianya, sepakbola.

Perasaan itu berubah tatkala seorang guru dari SMK Passo bernama Yosef datang dan menawarinya melatih Passo untuk mengikuti John Maeloa Cup. SMK Passo sejatinya merupakan SMK Kristen, dan penunjukan Sani yang Muslim sebagai pelatih awalnya sempat ditentang oleh kepala sekolah, namun setelah diberikan pengertian oleh Yosef, kepsek pun melunak. Sani pun girang, dia akan kembali ke dunianya, dan keluarganya pun pasti senang karna SMK Passo menggajinya.

Berita Sani melatih Passo terdengar oleh anak-anak Tulehu, hingga dua anak yakni Salembe dan Alvin keluar dari Tulehu Putra dan memilih bergabung dengan Sani. Hal yang membuat terjadinya keretakan ditubuh Tulehu Putra.

Film ini langsung mengarahkan pada laga final, yang mempertemukan Passo vs Tulehu. Pertandingan antar saudara yang akhirnya dimenangkan oleh Tulehu. Membuat Raffi merasa lebih hebat dari Sani. Diluar laga final ada sosok Sofyan, orang Tulehu yang ditugaskan PSSI memberikan informasi tentang turnamen PSSI U15 antar provinsi yang berlangsung di Jakarta. Informasi ini langsung ditindaklanjuti dengan pembentukan tim U15 Maluku melalui jalur musyawarah. Akhirnya ditetapkan Sani sebagai pelatih kepala dan Raffi sebagai asisten. Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan Sani dalam menyatukan pemain Passo dan Tulehu, pemain Islam dan Kristen. Sontak hal ini membuat Raffi bereaksi, dia menganggap pelatih dari tim juaralah yang berhak jadi pelatih kepala. Raffi bersikap, jadi pelatih kepala atau mundur sama sekali. Akhirnya Raffi mundur, jadilah Sani sebagai Pelatih Kepala dan Yosef sebagai asistennya.

Pemain mulai berlatih, dengan komposisi 2 pemain dari Passo dan sisanya dari Tulehu. Konflik di dalam tim dimulai. Benih keragaman ini kembali pecah. Salembe yang merasa dendam dengan Polisi yang membunuh ayahnya baru tau kalau 2 pemain Passo adalah anak polisi. Tackle keras saat latihan disertai adu mulut dan adu pukul tak terelakkan. Tapi Sani tetap yakin, gejolak perpecahan ini lambat laun pasti akan berakhir. Anak-anak akan dewasa, disisi lain Sani lebih intens pada masalah lain, yaitu tim kekurangan dana.

Keberangkatan tim tinggal menunggu hari, tapi dana yang terkumpul masih kurang. Konflik kembali terjadi. Kekurangan dana mulai tertutupi dengan sumbangan masyarakat yang secara langsung menyerahkannya ke Sani. Sumbangan dari gereja, bahkan sumbangan dari orang tua pemain yang awalnya kurang mendukung dengan anaknya yang tiap hari latihan. Setelah dihitung lagi, dana masih kurang. Sani akhirnya menjual dua ekor kambing tanpa sepengetahuan istrinya. Haspa, istri Sani marah besar dan berniat pulang ke rumah orang tuanya di Ambon beserta anak-anaknya. Sani hanya bisa terdiam. Inilah perjuangan. Pada momen ini emosi Chico Jericho sebagai pemeran Sani sangat luar biasa, penonton bisa merasakan.

Akhirnya tim Maluku berangkat menuju Jakarta. Pertandingan pertama bertemu melawan Jakarta, finalis tahun lalu. Awalnya laga terlihat mudah, tapi benih perpecahan itupun meledak dipertandingan awal ini.  Terjadi aksi saling pukul antara pemain Maluku, membuat Sani menganggap tak ada yang bisa diselamatkan dari tim ini, tim yang tak punya harapan. Pertandingan berakhir dengan kekalahan, yang terburuk adalah perpecahan rasa kebersamaan dalam tim.

Berita ini lantas sampai ke Tulehu, Haspa semakin marah dan akhirnya memutuskan pergi dari rumah bersama anak-anaknya. Di hotel, Sani mendapatkan kabar ini. Kegalauan menerpa, membuat Sani berniat pulang dan memilih menyelamatkan keluarga dibandingkan berjuang dengan tim yang menurut dirinya sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
 
Sebelum memutuskan pulang, Sani bertemu Sofyan. Sofyan memompa lagi semangat Sani, mengobarkan lagi kalau tim Maluku punya potensi. Sani akhirnya luluh dan bersiap untuk pertandingan kedua.

Pertandingan kedua berlangsung sengit. Di akhir babak pertama Maluku ketinggalan satu gol, dan perpecahan masih mengemuka. Di ruang ganti Sani menjelma bagai Jose Mourinho, memberikan motivasi untuk semua pemain. Kala mencari siapa yang salah pada konflik Maluku, waktu pun akan habis tanpa bisa menjawab siapa yang salah, ungkap Sani. Sani menekankan satu hal, bukan Tulehu, bukan Passo, bukan Islam, bukan Kristen, tapi BETA MALUKU. Sebuah pesan yang menggelorakan semangat hingga tim ini melaju ke babak puncak.

Singkat cerita, kisah indah inipun berlangsung hingga final yang mempertemukan lagi mereka melawan Jakarta. Kisah ketimpangan melawan kejumawaan. Saat turun minum Maluku tertinggal satu gol. Pemain Maluku tampak down, apalagi menurut mereka wasit berat sebelah. Ada satu yang menarik, bukan Sani yang memberikan motivasi, melainkan Salembe. Salembe yang selalu membuat huru-hara di tim dan sering berulah. “Kalau wasit curang biarkan saja, kalau dapat tackle keras berdiri lagi, dapat sikut keras berdiri lagi, jangan sampai dianggap orang remeh” kata-kata keren dari si bengal membuat merinding penonton. Akhirnya akhir babak kedua kedua tim sama kuat 1-1 yang di akhiri adu pinalti.

Hal paling menarik pada momen ini adalah terputusnya siaran langsung dari tv. Masyarakat Maluku menggelar nonbar di semua sudut kota. Terhentinya siaran ini membuat mereka bingung. Disinilah, siaran berubah menjadi laporan via telpon yang di sebarkan lagi via mimbar masjid dan gereja dengan pengeras suara.

Dramatis, hasil akhir untuk pertandingan ini. Diluar dari kemenangan Maluku, ini adalah kemenangan keragaman, sebuah kesatuan tekad dalam semangat rekonsiliasi daerah konflik. Tidak heran film ini banjir penghargaan. Sebagai sebuah film dengan muatan yang kompleks, film ini terlihat komplit. Film yang layak ditonton.

Durasi film 2 jam, disuguhi berbagai konflik yang mengemuka dengan alur yang pas. Ada konflik besar kerusuhan, konflik rumah tangga, konflik persahabatan, konflik pilihan-pilihan, hingga berujung manis di akhir cerita. Saya merasa penyajiannya sederhana tapi mengena. Sebagian besar komunikasi menggunakan bahasa lokal, rapi namun masih mudah dipahami walau tanpa teks sekalipun. Penonton dibawa dalam alur, dan merasakan setiap titik ketegangannya.

Review : Cahaya Dari Timur: Beta Maluku


An Inspiring True Story

            Mungkin sedikit sekali kisah nyata yang diangkat ke sebuah film akan tetapi mengambil tokoh dan setting berasal dari Indonesia Timur. Kali ini Maluku menjadi latar untuk dijadikan film yang melibatkan konflik agama pada tahun 2000 silam. Mengambil kisah perjuangan Sani Tawainella yang berasal dari Tulehu. Kisah inspiratif ini disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Berbeda dengan film lainnya, film yang shooting di lokasi aslinya ini menggunakan 90% bahasa daerah Maluku dengan subtitle Bahasa Indonesia.
            Cahaya Dari T imur: Beta Maluku, sepintas memang film ini bertemakan sepak bola, namun ditelisik lebih dalam ternyata film ini mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negeri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi rasis terhadap agama lain hingga akhirnya di persatukan oleh sepak bola.
            Tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bagaikan pahlawan lalu mengubah nasib orang dan ditampilkan secara sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan himpitan ekonomi dan keluarganya. Sani Tawainella (Chicco Jerico), adalah seorang pemain bola yang gagal menjadi pemain profesional kembali ke Tulehu dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, ya..pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, pengarang cerita dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri pahit getir masa-masa konflik di Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta tempat setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya sangat terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya.
            Penampilan seluruh film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik itu aktor sampai anak-anak muda asli Maluku  yang melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Jangan lupakan juga penampilan anak-anak Maluku yang mampu menarik perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak Tulehu dan tidak merasa minder beradu acting dengan aktor-aktor senior mereka.
Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan baik. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.
Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi  serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para aktor, serta cerita yang mumpuni membuat Cahaya Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna.