Hampir setiap hari, kala tiang
listrik dipukul dan mengeluarkan suara, pertanda marabahaya. Konflik agama di
Maluku, konflik perang antar kampung, kerusuhan dimana-mana. Orang dewasa
berjaga-jaga, membawa alat dan juga senjata. Anak-anak serta merta terbawa,
saat mendengar suara dari tiang listrik, serta-merta ikut berlari menonton
kerusuhan. Kekisruhan ini yang mengawali sebuah niat baik Sani, dia tidak ingin
anak-anak terbawa dengan memori kelam hingga masa depan hanya penuh dendam
kebencian, Sani mengajak anak-anak berlatih sepakbola setiap sore. Sani
menafkahkan dirinya untuk anak-anak ini. Awalnya berat, karena tiap mendengar
tiang listrik yang dipukul, anak-anak tetap berlari, lama kelamaan mereka
berdisiplin untuk terus latihan.
Muncul satu konflik awal yang
pelik namun menyentuh. Satu sisi Sani berjalan dalam dunianya yaitu sepakbola,
disisi yang lain ada realitas keluarga yang butuh makan. Diluar menjadi pelatih
sepakbola anak-anak, Sani hanya seorang tukang ojek. Sejak melatih anak-anak,
setoran untuk anak istri dirumah semakin kurang. Ada kalanya dia harus memilih
antara mencari uang atau melatih, Sani berada dalam dua hal yang pelik.
Beberapa kali Sani mangkir melatih karna desakan ekonomi, membuatnya
bersitengang dengan Raffi, rekan setimnya semasa kecil yang membantunya melatih
anak-anak.
Ada yang menarik dengan nama
anak-anak yang dilatih Sani. Ada nama Alvin Tuasalamoni, Rizky Pellu, Hendra
Adi Bayao, nama-nama yang tidak asing bagi penggemar sepakbola nasional.
Awalnya saya pikir, nama-nama ini sengaja dibuat sama agar mendekati realita
talenta nasional dari Maluku. Ternyata film ini An True Story alias kenyatan.
Tahun berganti tahun akhirnya
konflik mulai surut, anak-anak pun tumbuh menjadi pemuda tangguh. Raffi
mengusulkan agar segera dijadikan SSB (Sekolah Sepak Bola), tapi Sani tau diri,
untuk memberi makan anak istri juga pas-pasan. Gerbang itu semakin terbuka saat
akan dilaksanakan John Maeloa Cup, turnamen sepakbola di Maluku dan Tulehu
menjadi tuan rumahnya. Raffi mendeklarasikan SSB Tulehu Putra, yang awalnya disetujui
oleh Sani. Ternyata Raffi menggunakan ini sebagai alat politiknya yang akan
maju sebagai caleg, SSB Tulehu Putra diklaim merupakan miliknya dan hasil
inisiasinya. Raffi menggunakannya sebagai pencitraan di media cetak lokal. Hal
ini tercium Sani, yang mengakibatkan dua sahabat ini pecah kongsi. Sani marah
tapi tak berdaya, dia kalah dengan sahabatnya yang punya uang dan siap
membiayai keperluan Tulehu Putra.
Anak-anak akhirnya tau, dan ini
sontak menjadi dilema tersendiri. Anak-anak sudah jatuh hati, mereka merasa
Sani adalah sosok terbaik bagi mereka. Sani menutupi masalahnya dengan Raffi,
dia menjelaskan dia keluar dari Tulehu Putra karna ingin fokus mencari nafkah.
Diluar itu, Sani sebenarnya sangat hancur. Perasaan dikhianati sahabat
sekaligus harus kembali menjauh dari dunianya, sepakbola.
Perasaan itu berubah tatkala
seorang guru dari SMK Passo bernama Yosef datang dan menawarinya melatih Passo
untuk mengikuti John Maeloa Cup. SMK Passo sejatinya merupakan SMK Kristen, dan
penunjukan Sani yang Muslim sebagai pelatih awalnya sempat ditentang oleh
kepala sekolah, namun setelah diberikan pengertian oleh Yosef, kepsek pun
melunak. Sani pun girang, dia akan kembali ke dunianya, dan keluarganya pun
pasti senang karna SMK Passo menggajinya.
Berita Sani melatih Passo
terdengar oleh anak-anak Tulehu, hingga dua anak yakni Salembe dan Alvin keluar dari
Tulehu Putra dan memilih bergabung dengan Sani. Hal yang membuat terjadinya
keretakan ditubuh Tulehu Putra.
Film ini langsung mengarahkan
pada laga final, yang mempertemukan Passo vs Tulehu. Pertandingan antar saudara
yang akhirnya dimenangkan oleh Tulehu. Membuat Raffi merasa lebih hebat dari
Sani. Diluar laga final ada sosok
Sofyan, orang Tulehu yang ditugaskan PSSI memberikan informasi tentang turnamen
PSSI U15 antar provinsi yang berlangsung di Jakarta. Informasi ini langsung
ditindaklanjuti dengan pembentukan tim U15 Maluku melalui jalur musyawarah.
Akhirnya ditetapkan Sani sebagai pelatih kepala dan Raffi sebagai asisten.
Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan Sani dalam menyatukan pemain Passo dan
Tulehu, pemain Islam dan Kristen. Sontak hal ini membuat Raffi bereaksi, dia
menganggap pelatih dari tim juaralah yang berhak jadi pelatih kepala. Raffi
bersikap, jadi pelatih kepala atau mundur sama sekali. Akhirnya Raffi mundur,
jadilah Sani sebagai Pelatih Kepala dan Yosef sebagai asistennya.
Pemain mulai berlatih, dengan
komposisi 2 pemain dari Passo dan sisanya dari Tulehu. Konflik di dalam tim
dimulai. Benih keragaman ini kembali pecah. Salembe yang merasa dendam dengan
Polisi yang membunuh ayahnya baru tau kalau 2 pemain Passo adalah anak polisi. Tackle keras
saat latihan disertai adu mulut dan adu pukul tak terelakkan. Tapi Sani tetap
yakin, gejolak perpecahan ini lambat laun pasti akan berakhir. Anak-anak akan
dewasa, disisi lain Sani lebih intens pada masalah lain, yaitu tim kekurangan
dana.
Keberangkatan tim tinggal
menunggu hari, tapi dana yang terkumpul masih kurang. Konflik kembali terjadi.
Kekurangan dana mulai tertutupi dengan sumbangan masyarakat yang secara
langsung menyerahkannya ke Sani. Sumbangan dari gereja, bahkan sumbangan dari
orang tua pemain yang awalnya kurang mendukung dengan anaknya yang tiap hari
latihan. Setelah dihitung lagi, dana masih kurang. Sani akhirnya menjual dua
ekor kambing tanpa sepengetahuan istrinya. Haspa, istri Sani marah besar dan
berniat pulang ke rumah orang tuanya di Ambon beserta anak-anaknya. Sani hanya
bisa terdiam. Inilah perjuangan. Pada momen ini emosi Chico Jericho sebagai
pemeran Sani sangat luar biasa, penonton bisa merasakan.
Akhirnya tim Maluku berangkat
menuju Jakarta. Pertandingan pertama bertemu melawan Jakarta, finalis tahun
lalu. Awalnya laga terlihat mudah, tapi benih perpecahan itupun meledak
dipertandingan awal ini. Terjadi aksi saling pukul antara pemain Maluku,
membuat Sani menganggap tak ada yang bisa diselamatkan dari tim ini, tim yang
tak punya harapan. Pertandingan berakhir dengan kekalahan, yang terburuk adalah
perpecahan rasa kebersamaan dalam tim.
Berita ini lantas sampai ke
Tulehu, Haspa semakin marah dan akhirnya memutuskan pergi dari rumah bersama
anak-anaknya. Di hotel, Sani mendapatkan kabar ini. Kegalauan menerpa, membuat
Sani berniat pulang dan memilih menyelamatkan keluarga dibandingkan berjuang
dengan tim yang menurut dirinya sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
Sebelum memutuskan pulang, Sani bertemu Sofyan. Sofyan memompa lagi semangat
Sani, mengobarkan lagi kalau tim Maluku punya potensi. Sani akhirnya luluh dan
bersiap untuk pertandingan kedua.
Pertandingan kedua berlangsung
sengit. Di akhir babak pertama Maluku ketinggalan satu gol, dan perpecahan
masih mengemuka. Di ruang ganti Sani menjelma bagai Jose Mourinho, memberikan
motivasi untuk semua pemain. Kala mencari siapa yang salah pada konflik Maluku,
waktu pun akan habis tanpa bisa menjawab siapa yang salah, ungkap Sani. Sani
menekankan satu hal, bukan Tulehu, bukan Passo, bukan Islam, bukan Kristen,
tapi BETA MALUKU. Sebuah pesan yang menggelorakan semangat hingga tim ini
melaju ke babak puncak.
Singkat cerita, kisah indah
inipun berlangsung hingga final yang mempertemukan lagi mereka melawan Jakarta.
Kisah ketimpangan melawan kejumawaan. Saat turun minum Maluku tertinggal satu
gol. Pemain Maluku tampak down, apalagi menurut mereka wasit berat
sebelah. Ada satu yang menarik, bukan Sani yang memberikan motivasi, melainkan
Salembe. Salembe yang selalu membuat huru-hara di tim dan sering berulah.
“Kalau wasit curang biarkan saja, kalau dapat tackle keras berdiri
lagi, dapat sikut keras berdiri lagi, jangan sampai dianggap orang remeh”
kata-kata keren dari si bengal membuat merinding penonton. Akhirnya akhir babak
kedua kedua tim sama kuat 1-1 yang di akhiri adu pinalti.
Hal paling menarik pada momen
ini adalah terputusnya siaran langsung dari tv. Masyarakat Maluku menggelar
nonbar di semua sudut kota. Terhentinya siaran ini membuat mereka bingung.
Disinilah, siaran berubah menjadi laporan via telpon yang di sebarkan lagi via
mimbar masjid dan gereja dengan pengeras suara.
Dramatis, hasil akhir untuk
pertandingan ini. Diluar dari kemenangan Maluku, ini adalah kemenangan
keragaman, sebuah kesatuan tekad dalam semangat rekonsiliasi daerah konflik.
Tidak heran film ini banjir penghargaan. Sebagai sebuah film dengan muatan yang
kompleks, film ini terlihat komplit. Film yang layak ditonton.
Durasi film 2 jam, disuguhi
berbagai konflik yang mengemuka dengan alur yang pas. Ada konflik besar
kerusuhan, konflik rumah tangga, konflik persahabatan, konflik pilihan-pilihan,
hingga berujung manis di akhir cerita. Saya merasa penyajiannya sederhana tapi
mengena. Sebagian besar komunikasi menggunakan bahasa lokal, rapi namun masih
mudah dipahami walau tanpa teks sekalipun. Penonton dibawa dalam alur, dan
merasakan setiap titik ketegangannya.