An Inspiring True Story
Mungkin
sedikit sekali kisah nyata yang diangkat ke sebuah film akan tetapi mengambil
tokoh dan setting berasal dari Indonesia Timur. Kali ini Maluku menjadi latar
untuk dijadikan film yang melibatkan konflik agama pada tahun 2000 silam.
Mengambil kisah perjuangan Sani Tawainella yang berasal dari Tulehu. Kisah
inspiratif ini disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Berbeda dengan film
lainnya, film yang shooting di lokasi aslinya ini menggunakan 90% bahasa daerah Maluku dengan subtitle Bahasa Indonesia.
Cahaya
Dari T imur: Beta Maluku, sepintas memang
film ini bertemakan sepak bola, namun ditelisik lebih dalam ternyata film ini
mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negeri Maluku. Seperti halnya
sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak
Tulehu yang menjadi rasis terhadap agama lain hingga akhirnya di persatukan
oleh sepak bola.
Tidak
terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang
bagaikan pahlawan lalu mengubah nasib orang dan ditampilkan secara sempurna
tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani
Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan.
Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap
anak-anak didiknya namun terus ditekan himpitan ekonomi dan keluarganya. Sani
Tawainella (Chicco Jerico), adalah seorang pemain bola yang gagal menjadi
pemain profesional kembali ke Tulehu dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi
keluarganya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik,
ya..pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, pengarang cerita
dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri pahit getir masa-masa konflik di
Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat
dengan kejadian nyata serta tempat setting tempatnya. Detail-detail adegan
seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya sangat terasa
sepanjang film. Yang paling terasa adalah hampir mayoritas menggunakan bahasa
Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya.
Penampilan seluruh film ini patut
diberikan apresiasi baik. Baik itu aktor sampai anak-anak muda asli Maluku yang melakukan penampilan yang baik sehingga
terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai
Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Jangan lupakan juga
penampilan anak-anak Maluku yang mampu menarik perhatian dalam debut mereka.
Berpenampilan baik sebagai anak Tulehu dan tidak merasa minder beradu acting
dengan aktor-aktor senior mereka.
Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas
Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam
pengalaman berkaryanya. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama
moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan
begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu.
Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan
Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan baik.
Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.
Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur
merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa”
disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang
dengan membumi serta didukung dengan sisi teknis seperti directing,
penampilan para aktor, serta cerita yang mumpuni membuat Cahaya Dari Timur
seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar