Powered By Blogger

Senin, 04 Mei 2015

Review : Cahaya Dari Timur: Beta Maluku


An Inspiring True Story

            Mungkin sedikit sekali kisah nyata yang diangkat ke sebuah film akan tetapi mengambil tokoh dan setting berasal dari Indonesia Timur. Kali ini Maluku menjadi latar untuk dijadikan film yang melibatkan konflik agama pada tahun 2000 silam. Mengambil kisah perjuangan Sani Tawainella yang berasal dari Tulehu. Kisah inspiratif ini disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Berbeda dengan film lainnya, film yang shooting di lokasi aslinya ini menggunakan 90% bahasa daerah Maluku dengan subtitle Bahasa Indonesia.
            Cahaya Dari T imur: Beta Maluku, sepintas memang film ini bertemakan sepak bola, namun ditelisik lebih dalam ternyata film ini mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negeri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi rasis terhadap agama lain hingga akhirnya di persatukan oleh sepak bola.
            Tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bagaikan pahlawan lalu mengubah nasib orang dan ditampilkan secara sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan himpitan ekonomi dan keluarganya. Sani Tawainella (Chicco Jerico), adalah seorang pemain bola yang gagal menjadi pemain profesional kembali ke Tulehu dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, ya..pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, pengarang cerita dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri pahit getir masa-masa konflik di Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta tempat setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya sangat terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya.
            Penampilan seluruh film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik itu aktor sampai anak-anak muda asli Maluku  yang melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Jangan lupakan juga penampilan anak-anak Maluku yang mampu menarik perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak Tulehu dan tidak merasa minder beradu acting dengan aktor-aktor senior mereka.
Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan baik. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.
Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi  serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para aktor, serta cerita yang mumpuni membuat Cahaya Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar